Senin, 07 Juli 2014

ASPEK ADMINISTRATIF HUKUM LINGKUNGAN


TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
ASPEK ADMINISTRATIF HUKUM LINGKUNGAN













Di Susun Oleh :

RAHMAT HIDAYAT
D 101 09 090




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN
2014






















BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan di dalamnya.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.

1.      Hukun Lingkungan Modern
Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.

2.      Hukum Lingkungan Klasik
Sebaliknya Hukum Lingkungan Klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum Lingkungan Klasik bersifat sektoral, serta kaku dan sukar berubah. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia. Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka Hukum Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.







B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas ,maka timbulah masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sistem administratif dari hukum Lingkungan...?
2.       








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Aspek Administratif
Hukum administrasi adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. (R. Abdoel Djamali).
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Berdasarkan jenisnya ada beberapa jenis sanksi administaratif yaitu :
A.     Paksaan pemerintahan
Diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.

B.     Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan (ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).
Instrument hukum lingkungan administratif, antara lain:
A.     Perizinan lingkungan
B.      Amdal/UKL – UPL
C.     Baku Mutu Lingkungan
D.     Pajak dan retribusi lingkungan

Sangsi Administratif antara lain:
A.     Teguran tertulis
B.     Paksaan pemerintah

Sarana penegak hukum administratif antara lain:
A.     Paksaan pemerintah atau tidakan paksa (Bestuursdwang)
B.     Uang paksa (Publiekrechtelijke dangsom)
C.     Penutupan tempat usaha (Sluiting van een inrichting)
D.     Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstelling van een toestel)
E.      Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa.
Pemberian sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Sanksi administrasi dapat bersifat preventif dan bertujuan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan, dengan ancaman administratif.
Upaya penegakan hukum melalui sanksi administratif dapat dilakukan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan persyaratan perijinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan sebagainya. Sanksi-sanksi administratif dapat berupa teguran lisan, paksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian kegiatan perusahaan dan pencabutan ijin melalui proses teguran, akan tetapi temyata ketentuan yang mengatur jenis sanksi administrasi dalam peraturan perundang-undangan lingkungan di Indonesia masih lemah dan bahkan sedikit sekali peraturan yang mencantumkan pemberian sanksi administratif terhadap pelanggar. Peraturan perundang-undangan lingkungan yang mengandung prosedur administratif dalam proses pengambilan keputusan administrasi negara adalah:
Ordonansi Gangguan (HO) Stb.1926 No.226. Pasal 5 ayat (3). Akan tetapi dalam praktek peran serta yang diatur dalam Pasal dan ayat tersebut tidak pernah dimanfaatkan oleh yang berkepentingan.
Pasal 22 ayat (1) PP 27/99 ini mengatur tentang kewajiban membuat analisis dampak lingkungan (AMDAL). Sedangkan dalam Pasal 22 ayat (2) ditetapkan bahwa dokumen-dokumen AMDAL bersifat terbuka untuk umum. Selanjutnya ayat (3) mencantumkan bahwa sifat keterbukaan sebagaimana dimaksud adalah peran serta masyarakat sebagaimana dalam Pasal 17 dan Pasal 18 PP Nomor 51 Tahun 1993, sebelum kepastian tentang pemberian ijin terhadap rencana kegiatan diberikan.
Pada tahap “pengawasan ketaatan” dilaksanakan oleh Menteri, wewenang ini selanjutnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (Pasal 22 UUPLH 1997), baik kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, maupun kepada Bupati/Walikota Madya/ kepala Dati II. Selanjutnya Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa selain wewenang pengawasan, Pemda juga berwenang melakukan paksaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk:
1.      Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;
2.      Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran;
3.      Melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/ atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Dengan demikian upaya dalam aspek hukum administrasi negara dapat bersifat preventif dan represif. Aspek administratif yang bersifat preventif berupa pengawasan bertujuan untuk menegakkan hukum lingkungan dengan ancaman sanksi administratif. Upaya yang bersifat preventif ini dapat dilakukan pada saat:

a.       persyaratan perizinan;
b.      baku mutu lingkungan;
c.       rencana pengelolaan lingkungan, dan lain sebagainya.
Namun perlu untuk diperhatikan bahwa dalam rangka penegakan hukum lingkungan, perlu upaya kemudahan-kemudahan dari pemerintah, misalnya keringanan bea masuk alat-alat pengelolaan limbah, kemudahan kredit bank bagi biaya pengelolaan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Selanjutnya aspek hukum administrasi negara yang bersifat represif, menyangkut penindakan terhadap pelanggaran hukum lingkungan yang bertujuan untuk mengakhiri pencemaran/ perusakan lingkungan. Pemaksaan pemerintah terhadap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan dapat dilakukan dengan sanksi administratif, antara lain berupa:
a.       paksaan pemerintah (Pasal 25 ayat 1-4);
b.      pembayaran sejumlah uang (Pasal 25 ayat 5);
c.       pencabutan izin usaha dan/ atau kegiatan (pasal 27);
d.      audit lingkungan hidup.








BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangka kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.


B.     SARAN
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Karena pada saat ini pemerintah masih berpangku tangan atas apa yang terjadi dengan lingkungan. Pemerintah harus tegas dalam menentukan tindakan untuk menanggulangi kerusakan lebih lanjut seperti kerusakan  hutan, kebakaran, asap pabrik yang membuat lapisan ozon berlubang dan banyak kerusakan lain yang disebabkan oleh manusia dengan cara reboisasi, penyuluhan tentang pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan manusia.






DAFTAR PUSTAKA

Silalahi Daud. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia dengan Referensi Khusus Putusan Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI. 1994.

Silalahi Daud. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata). Jakarta: Mahkamah Agung RI. 1994.

Soemitro Ronny Hanutijo. Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum. Semarang: CV. Agung. 1989.

Adamson Hoebel. 1967. The Law of Primitif Man. Cambridge Mass: Harvard University Press.












Sabtu, 07 Juni 2014

pendidikan karakter dan anti korupsi 2 - faktor penyebab korupsi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Korupsi adalah suatu tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah.
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, maka timbul pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apa sajakah penyebab korupsi dalam perspektif teori...?
2.      Bagaimana penyebab korupsi dalam faktor internal dan eksternal...?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENYEBAB KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI
Korupsi Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan corupsio memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif.

Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1.      Penegakan hukum tidak konsisten :
penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
2.      Langkahnya lingkungan yang antikorup :
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.Rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
3.      Kemiskinan, keserakahan :
masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
4.      Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi :
saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.

5.      Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :
menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
6.      Gagalnya pendidikan agama dan etika :
ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno  bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam  memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
 Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.

Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1.      Greeds (keserakahan) :
berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2.      Opportunities (kesempatan) :
berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3.      Needs (kebutuhan) :
berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.


4.      Exposures (pengungkapan) :
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Begitu parahnya perilaku Korupsi di negeri ini, sampai-sampai muncul anekdot bahwa di negeri ini jika kita melakukan hal yang benar malah dianggap salah.
 Banyak faktor penyebab korupsi. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi Dua yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal. m.arifin membagi dua faktor peyebab orang melakukan korupsi.faktor tersebut yaitu internal dan eksternal .yang di maksud faktor internal dan eksternal.

B.     FAKTOR INTERNAL

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
Persepsi terhadap korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda. Menurut Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif terhadap korupsi karena belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
Kualitas moral dan integritas individu. Adanya sifat serakah dalam diri manusia dan himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah juga dapat membuat seseorang melakukan korupsi.
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a.       peninggalan pemerintahan kolonial.
b.      kemiskinan dan ketidaksamaan.
c.       gaji yang rendah.
d.      persepsi yang popular.
e.       pengaturan yang bertele-tele.
f.       pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu teori medan dan teori big five personality. Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008) teori medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan McCrae (dikutip dalam Feist & Feist, 2008), big five personality merupakan konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness.
Selain faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal lainnya.faktor tersebut yaitu :
a.       Aspek Perilaku Individu:
1.      Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi  berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
2.      Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
3.       Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b.      Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif seseorang.

C.     FAKTOR EKSTERNAL

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Hukum. Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat lemah. Menurut Pope (2003/2007), hukum tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh masyarakat.Politik Monopoli kekuasaan merupakan sumber korupsi, karena tidak adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat.
Budaya Menurut Pope (2003/2007), KKN yang masih sangat tinggi dan tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat menganggap bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.
Sosial Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Ada aspek-aspek yang membuat orang-orang melakukan korupsi. Aspek tersebut meliputi :
a.       Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
1.      Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
2.      Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
3.      Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4.      Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.
b.      Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c.       Aspek Politis
 Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik). Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d.      Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi  karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
1.      Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
2.      Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
3.      Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam organisasi.
4.      Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5.       Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini kurang berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas itu sendiri.






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan  di dalam masyarakat. Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

B.     SARAN
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini.
 Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010
Nasution, S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini. Waspada Online. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Rastika, Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7 Desember, 2010.

Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak Gayus Tambunan di Warakas. detikNews 24 Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.