PENERAPAN
GANTI RUGI DAN REHABILITASI DALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS )PENGADILAN
NEGERI KLAS I A PALU
ABSTRAK
Penanggulangan
kejahatan melalui hukum pidana, merupakan kegiatan yang di dahului dengan
penentuan tindak pidana dan penentuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku
tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana
merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya
yang telah merugikan korbannya dan masyarakat.
Walaupun
sanksi pidana berupa pidana badan dijatuhkan, sangat jarang yang disertai
dengan syarat khusus mengganti kerugian, seperti halnya di pengadilan negeri
kelas 1 A palu berdasarkan pengamatan dan peneliti pidana ganti kerugian dengan
syarat khusus ini sering dibebankan pada pelaku pengrusakan barang dan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana ekonomi, adapun
Ganti
kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah
bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain karena
kesalahannya tersebut. Untuk itu skripsi ini berjudul Penerapan Ganti Rugi dan
Rehabilitasi Dalam Perkara Pidana (studi Kasus )Pengadilan Negeri Klas I A Palu
Oleh sebab itu penulis mencoba memecahkan masalah-masalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
penerapan sanksi ganti kerugian dan Rehabilitasi di pengadilan negeri klas I A
palu ...? (2) Bagaimanakah kewajiban pemberian ganti rugi kepada korban tindak
pidana ...?
Penelitian
ini mneggunakan metode penelitian Empiris Normatif. Karena mendeskripsikan dan
menggambarkan mengenai penerapan pelaksanaan ganti kerugian dan rehabilitasi
terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap
Kata Kunci : ganti Rugi, Rehabilitasi
perkara Pidana
I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hukum indonesia
sejak Zaman dahulu telah mengenal sanksi ganti kerugian, yang harus di bayar
oleh orang yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh
masyarakat kepada korban (orang yang menderita)ataupun keluarga korban) dan
rehabilitasi terhadap orang yang tidak bersalah. Tujuan dari pada ganti
kerugian dan rehabilitasi ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali
ataupun keseimbangan masyarakat pulih kembali[1]
Dengan demikian
sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan
yang serius, korban dan pidana hanya dikenakan pada pelaku yang terbukti
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.perbuatan yang memenuhi
syarat tertentu adalah perbuatan yang dilakukan orang, yang memugkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan demikian disebut perbuatan yang dapat di pidana.
Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan pasal 10
KUHP.
Sanksi pidana
dalam KUHP diatur dalam pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok meliputi pidana
mati, penjara, kurungan, dan denda. Disamping pidana pokok.pidana tambahan
meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang barang tertentu,
pengumuman putusan hakim.
Ganti kerugian
adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak
melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain karena kesalahannya
tersebut.[2]
Sanksi ganti kerugian menurut Schafer telah dikenal pada masa hukum primitif.
Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam
pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan
tindak pidana atau keluarganaya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai
akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam
masyarakat yang masih berbentuk suku-suku (tribal organization) bentuk bentuk
hukum seperti ganti rugi merupakan suatu yang biasa terjadi sehari-hari[3]
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah penerapan
sanksi ganti kerugian dan Rehabilitasi di pengadilan negeri klas I A palu ?
2. Bagaimanakah kewajiban pemberian ganti rugi kepada korban
tindak pidana ?
II
PEMBHASAN
A.
Penerapan Sanksi ganti kerugian dan rehabilitasi
dipengadilan negeri Klas I A Palu
Dalam proses
peradilan pidana dan sistem peradilan pidana dikenal adanya lembaga-lembaga
yang bekerja sama untuk menanggulangi suatu kejahatan. Lembaga-lembaga tersebut
yaitu Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga pemasyarakatan.
Dalam kaitan
itu, andi hamzah praperadilan merupakan sidang pengadilan di bidang etika”.
Yang dimaksud adalah sah atau tidaknya penahahan, penyitaan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan (polisi dan jaksa ) sebagai perlindungan
hak asasi tersangka (bukan terdakwa).[4]
Lebih lanjut
menurut andi Hamzah Bahwa peran Pengadilan juga bertambah di bidang pemberian
putusan ganti kerugian, menurut pasal 96 KUHAP, putusan itu diberikan dalam
bentuk penetapan.[5]
Hubungan
pengadilan dengan penegak hukum dalam sistem peradilan pidana menurut Ansorie
saiman, dan Ruben Achmad digambarkan sebagai berikut :[6]
1. Hubungan
ketua Pengadilan Negeri dengan Polri Kaitannya dengan sistem peradilan Pidana
a. Ketua
pengadilan negeri dengan keputusannya, memberikan Perpanjangan penahanan
sebagaimana di maksud Pasal 29 atas permintaan penyidik.
b. Atas permintaan penyidik, ketua Pengadilan Negeri menolak
atau memberikan ijin Penggeledahan rumah atau penyitaan dan atau surat ijin
khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 Ayat (1), Pasal 38 Ayat (1), Pasal 43 dan
Pasal 47 Ayat (1).
c. Penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
atas pelaksanaanpenggeledahan Rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pasal 34 Ayat (2) dan pasal
38 ayat (2).
d. Penyidik memberikan kepada panitra bukti bahwa surat amar
putusan telah disampaikan kepada terpidana (pasal 214 Ayat (3).
e. Panitra memberitahukan kepada penyidik tentang adanya
perlawanan dari terdakwa (pasal 214 ayat (7).
2. Hubungan ketua pengadilan Negeri dengan Lembaga
Pemasyarakatan Kaitannya Sistem peradilan Pidana.
Berkenaan dengan
hal tersebut di atas, bagi korban tindak pidana konvensional seperti yang
peneliti maksudkan dalam skripsi ini, maka sesui dengan yang telah diuraikan
sebelumnya, jelaslah bahwa ganti rugi hanya dapat di bebankan atau dimintakan kepada
pelaku saja.
Pasal 98 KUHAP
Ayat (1) telah menegaskan bahwa :
Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri, menimbulkan “kerugian bagi orang lain”(termasuk kerugian pihak korban-penjelasan
KUHAP). Maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu, dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan gati kerugian kepada perkara pidana.
Sementara itu
penjelasan KUHAP menegskan pula bahwa :
Penggabungan
perkara gugatan pada perkara pidana dimaksudkan supaya perkara gugatan
tersebut, di periksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang
bersangkutan, dalam waktu yang sama.
Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut diatas, maka permintaan ganti kerugian hanya dapat
diajukan bila perkara itu memang sampai pada tingkat penuntutan, selain itu,
permintaan ganti kerugian inipun hanya dapat dikabulkan jika perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti. Jadi apabila perbutan yang didakwakan
tersebut tidak terbukti, maka hilanglah harapan korban untuk memperoleh ganti
rugi dari pelaku tindak pidana , dengan demikian nasib korban dapat dikatakan
bergantung pada : pertama, keberhasilan penyidik dalam mengungkap kasus pidana
trsebut. Krena dengan adanya keberhasilan penyidiklah, maka kasus itu akan
sampai dengan tahap penuntutan : kedua, keberhasilan penuntut umum dalam
membuktikan dakwaannya. Karena hanya dengan keberhsilan penuntut umum inilah,
maka permintaan ganti kerugian akan dikbulkan oleh hakim.
Pasal 99 ayat
(1) dan ayat (2) KUHAP menegaskan :
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan erkara
gugatan pada perkara pidana, maka pengadilan negeri menimbang tentang
kewenangan untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan
dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan ...., atau gugatan dinyatakan tidak daapat
diterima, putuusan hakim hanya memuat tetang penetapan hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Disamping itu,
ayat (1) pasa 99 KUHAP, perlu mendapat perhatian adalah mengenai kewenangan
mengadili yang harus dipertimbangkan oleh pengadilan negeri dalam hal menerima
permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini.
Salah satu
contoh kasus yang dapat di jadikan contoh mengenai hak dan kesempatan yang
tidak dimaafkan sebagaimana mestinya seperti yang diatur oleh pasal 98 KUHAP,
adalah kasus yang menimpa korban abidin tahun 2010, yang dilakukan oleh salah
seorang pelaku yang berprofesi sebagai kontraktor pengadaan barang bernama Muh
Yusuf melakukan tindak pidana penipuan dengan cara mengelabuhi korbannya, yakni
berpura-pura mengaku mendapat surat perintah kerja (penunjukan langsung) proyek
didinas provinsi sulawesi tengah dan memerlukan sebagian dana untuk biaya
pembelian alat peraga pendidikan dan biaya pengangkutan alat peraga pendidikan
dan biaya pengangkutan dari jakarta ke palu. Korban tersebut pada waktu dan
tempat yang berbeda telah menyerahkan sejumlah uang untuk bagi hasil dari
keuntungan pengadaan barang tersebut sebesar 30 % dari keuntungan selama 3
(tiga)bulan, dengan berbagai rayuan dan janji-janji keuntungan dari pelaku
sehingga korban menyerahkan uang kepada pelaku dan menderita kerugian moril
yakni rasa malu kepada keluarga dan kerabatnya yang terus menerus menanyakan
uang yang telah diberikan dan keuntungannya dari proyek tersebut.
Diatur dalam
KUHAP, dalam Pasal 227 sampai dengan pasal 283 Ansorie, sabuan, dan Ruben
maksud di adakannya ketentuan diatas agar supaya terdapat jaminan, bahwa
putusan yang dijatuhkan pengadilan dilaksanakan semestinya[7]
Pengertian
“putusan Pengadian”menurut Leden Marpung adalah[8] : Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari
sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang
dapat berbentuk tertulis maupun lisan”
Menurut yahya
Harahap[9]
putusan akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang
mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Jenis –jenis
putusan hakim dalam perkara pidana, diklasifikasikan menjai dua yaitu :
a. Putusan
yang bukan Putusan akhir.
Dalam praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat
berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan
pasal 148 dan pasal 156 ayat (1) kitap undang-undang hukum acara pidana, yakni
dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya
mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum.[10]
Putusan yang bukan putusan akhir, antara lain :
1. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
2. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
3. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat di
terima
b. Putusan akhir
Putusan akhir dalam praktik
lazim disebut dengan istilah “putusan” atau “eind Vonnis” dan merupakan jenis
putusan bersifat materil.pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi setelah
majelis hakim memeriks terdakwa yang hadir dipersidangan sampai dengan “pokok
Perkara” selesai diperiksa.
Kasus tindak
pidana penipuan yang telah dilakukan oleh muh yusuf ini, telah di gelar di pengadilanNegeri
palu dengan Nomor Register Perkara No.98/PID.B/2011/PN.Palu. pada awal-awal
persidangan telah mengadakan pendekatan kepada hakim dengan mengemukakan
keinginan pihak korban yakni keinginan untuk memperoleh ganti kerugian dari
pelaku dengan mengadakan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara
pidananya yang mana sedang berjalan.
Namun keinginan
dari pihak korban tindak pidana tersebut telah ditolak oleh hakim dengan alasan
harus terlebih dahulu ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Perkara
No.98/PID.B/2011/PN.Palu, tersebut telah diputus yang pada pokok putusan
tersebut menyatakan bahwa terdakwa Muh Yusuf, Lahir diwajo, Umur 40 Tahun,
Jenis Kelamin Laki-Laki, Kebangsaan Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan Wirasuasta,
Tempat Tinggal Jalan sukun No.201 A Kec. Palu Barat, Telah terbukti bersalah
Melakukan Tindak Pidana sebagaimana tercantum dan diancam hukuman Dalam Pasal
378,Pasal 65 KUHP dan Karena itu terdakwa dihukum dengan hukuman penjara selama
1 Tahun 2 Bulan.
Putusan Tersebut
diatas, telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan oleh karenanya pihak korban
sudah mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan perdatanya.
Berkenaan dengan
contoh kasusyang terjadi dikota palu tersebut sangat nyata bahwa penerapan kasus
ganti kerugian yang diatur dalam KUHAP belum dilaksanakan secara sempurna
karena ganti kerugian dijatuhkan setelah perkara pidana yang dijatuhkan
terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah.
B.
Kewajiban Pemberian Ganti Rugi Kepada Korban Tindak
Pidana
Sampai saat ini belum
ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai
permasalahan korban sebagai pihak yang dirugikan didalam perkara pidana, meski
demikian, kita patut bersyukur sebab dalam KUHA, Yaitu udang-undang nomor 8 tahun
1981, pada BAB XIII pasal 98 sampai pasal 101, telah diatur mengenai
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini kiranya dapat dianggap
sebagai awal diperhatikannya korban dalam perkara pidana, walaupun hanya dalam
undang-undang formil atau hukum acara pidana.
Pasal 98 KUHAP
ayat (1) telah menegaskan bahwa :
Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri, menimbulkan “kerugian bagi orang lain”(termasuk
Kerugian pihak korban – penjelasan KUHAP), maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu, dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana.
Hal tersebut
berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang menyangkut
orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka haki ketua sidang kemungkinan akan
menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini
berdasarkan keputusan menteri kehakiman R.I No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang
pedoman pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain
dirumuskan :gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata
digabungkan pada perkara pidananya, dan anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan
kepada pelaku tindak pidana[11]
Pasal 99 ayat
(1) dan ayat (2) KUHAP mnenegaskan :
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatan pada perkara pidana, maka pengadilan tinggi negeri menimbang tentang
kewenangan untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar mengadili
gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan..., atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan
hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Dalam pasal 101
KUHAP menyebutkan bahwa : bagi gugatan ganti kerugian ini berlaku hukum acara
perdata sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undnag ini (KUHAP). Karena
KUHAP tidak menentukan lain tentang hukum acara, maka ketentuan hukum acara
perdata berlaku.
Pasal 100 ayat
(1) KUHAP menegaskan bahwa :
Apabila terjadi
penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu
dengan sendirinya berlangsung dalam dalam pemeriksaan tikat banding.
Pasal 100 ayat
(2) KUHAP mengatakan bahwa :
Apabila terhadap
satu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding
mengenai putusan ganti kerugian tidak diperkenankan
Ketentuan pasal
14 (c) KUHPidana yaitu :
Dalam perintah
yang tersebut pada pasal 14a. Kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka
bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan
perbuatan yang dapat dihukum, maka hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa,
bahwa siterhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena adanya perbuatan
yang dapat dihukum itu, semuanya atau untuk sebagian saja yang ditentukan dalam
tempo yang akan ditetapkan yang kurang lamanya dari pada percobaan itu.
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Dipengadilan negeri palu, ketentuan pasal 98 KUHAP belum
pernah diterapkan, hal ini disebabkan sikap para hakim yang menghendaki lebih
dulu adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam
perkara penipuan apabila terbukti maka gugatan perdata dapat dimenangkan oleh
korban tetapi memudahkan korban untuk menggugat perdata atas dasar putusan
pidana.
2. Dalam KUHAP yang berkewajiban memberikan ganti kerugian
bagi korban tindak pidana, adalah pihak pelaku sebagai pihak yang menyebabkan
korban mengalami penderitaan dan kerugian dimana pelaku mengajukan ganti
kerugian bersama-sama dengan perkara atau penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian. Korban yang perlu menerima ganti rugi dri pelaku adalah korban yang
sungguh-sungguh mengalami penderitaan dan kerugian serta tidak memberikan
dorongan atau rangsangan atas terjadinya
tindak pidana.
B.
Saran
1. Perlunya penyempurnaan ketentuan yang terdapat didalam
Undang-undang nomor.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP,mengenai penggabungan perkara
gugatan ganti kerugian.
2. Korban tindak pidana mengalami penderitaan baik secara
fisik maupun secara psikis, sehingga sebaiknya hakim harus memberikan
kesempatan kepada pihak korban untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang
digabungkan dengan perkara pidananya, untuk proses peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan sesuai dengan prinsip peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
silahkan cari sendiri kawan ku
JANGAN LUPA CAMTUMKAN CATATAN KAKI NYA