Kamis, 10 Desember 2015

PENERAPAN GANTI RUGI DAN REHABILITASI DALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS )PENGADILAN NEGERI KLAS I A PALU

PENERAPAN GANTI RUGI DAN REHABILITASI DALAM PERKARA PIDANA (STUDI KASUS )PENGADILAN NEGERI KLAS I A PALU

ABSTRAK
Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana, merupakan kegiatan yang di dahului dengan penentuan tindak pidana dan penentuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan masyarakat.
Walaupun sanksi pidana berupa pidana badan dijatuhkan, sangat jarang yang disertai dengan syarat khusus mengganti kerugian, seperti halnya di pengadilan negeri kelas 1 A palu berdasarkan pengamatan dan peneliti pidana ganti kerugian dengan syarat khusus ini sering dibebankan pada pelaku pengrusakan barang dan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana ekonomi, adapun
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain karena kesalahannya tersebut. Untuk itu skripsi ini berjudul Penerapan Ganti Rugi dan Rehabilitasi Dalam Perkara Pidana (studi Kasus )Pengadilan Negeri Klas I A Palu Oleh sebab itu penulis mencoba memecahkan masalah-masalah sebagai berikut: (1)  Bagaimanakah penerapan sanksi ganti kerugian dan Rehabilitasi di pengadilan negeri klas I A palu ...? (2) Bagaimanakah kewajiban pemberian ganti rugi kepada korban tindak pidana ...?
Penelitian ini mneggunakan metode penelitian Empiris Normatif. Karena mendeskripsikan dan menggambarkan mengenai penerapan pelaksanaan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap
Kata Kunci : ganti Rugi, Rehabilitasi perkara Pidana 
I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum indonesia sejak Zaman dahulu telah mengenal sanksi ganti kerugian, yang harus di bayar oleh orang yang telah melakukan perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat kepada korban (orang yang menderita)ataupun keluarga korban) dan rehabilitasi terhadap orang yang tidak bersalah. Tujuan dari pada ganti kerugian dan rehabilitasi ini dilakukan agar terciptanya perdamaian kembali ataupun keseimbangan masyarakat pulih kembali[1]
Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, korban dan pidana hanya dikenakan pada pelaku yang terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.perbuatan yang memenuhi syarat tertentu adalah perbuatan yang dilakukan orang, yang memugkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan demikian disebut perbuatan yang dapat di pidana. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan pasal 10 KUHP.
Sanksi pidana dalam KUHP diatur dalam pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok meliputi pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Disamping pidana pokok.pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain karena kesalahannya tersebut.[2] Sanksi ganti kerugian menurut Schafer telah dikenal pada masa hukum primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganaya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku (tribal organization) bentuk bentuk hukum seperti ganti rugi merupakan suatu yang biasa terjadi sehari-hari[3]
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah penerapan sanksi ganti kerugian dan Rehabilitasi di pengadilan negeri klas I A palu ?
2.      Bagaimanakah kewajiban pemberian ganti rugi kepada korban tindak pidana ?
II PEMBHASAN   
A.    Penerapan Sanksi ganti kerugian dan rehabilitasi dipengadilan negeri Klas I A Palu
Dalam proses peradilan pidana dan sistem peradilan pidana dikenal adanya lembaga-lembaga yang bekerja sama untuk menanggulangi suatu kejahatan. Lembaga-lembaga tersebut yaitu Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga pemasyarakatan.
Dalam kaitan itu, andi hamzah praperadilan merupakan sidang pengadilan di bidang etika”. Yang dimaksud adalah sah atau tidaknya penahahan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (polisi dan jaksa ) sebagai perlindungan hak asasi tersangka (bukan terdakwa).[4]
Lebih lanjut menurut andi Hamzah Bahwa peran Pengadilan juga bertambah di bidang pemberian putusan ganti kerugian, menurut pasal 96 KUHAP, putusan itu diberikan dalam bentuk penetapan.[5]
Hubungan pengadilan dengan penegak hukum dalam sistem peradilan pidana menurut Ansorie saiman, dan Ruben Achmad digambarkan sebagai berikut :[6]
1.      Hubungan ketua Pengadilan Negeri dengan Polri Kaitannya dengan sistem peradilan Pidana
a.       Ketua pengadilan negeri dengan keputusannya, memberikan Perpanjangan penahanan sebagaimana di maksud Pasal 29 atas permintaan penyidik.
b.      Atas permintaan penyidik, ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan ijin Penggeledahan rumah atau penyitaan dan atau surat ijin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 Ayat (1), Pasal 38 Ayat (1), Pasal 43 dan Pasal 47 Ayat (1).
c.       Penyidik wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri atas pelaksanaanpenggeledahan Rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pasal 34 Ayat (2) dan pasal 38 ayat (2).
d.      Penyidik memberikan kepada panitra bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (pasal 214 Ayat (3).
e.       Panitra memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (pasal 214 ayat (7).
2.      Hubungan ketua pengadilan Negeri dengan Lembaga Pemasyarakatan Kaitannya Sistem peradilan Pidana.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, bagi korban tindak pidana konvensional seperti yang peneliti maksudkan dalam skripsi ini, maka sesui dengan yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bahwa ganti rugi hanya dapat di bebankan atau dimintakan kepada pelaku saja.
Pasal 98 KUHAP Ayat (1) telah menegaskan bahwa :
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri, menimbulkan “kerugian bagi orang  lain”(termasuk kerugian pihak korban-penjelasan KUHAP). Maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu, dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan gati kerugian kepada perkara pidana.
Sementara itu penjelasan KUHAP menegskan pula bahwa :
Penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana dimaksudkan supaya perkara gugatan tersebut, di periksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan, dalam waktu yang sama.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka permintaan ganti kerugian hanya dapat diajukan bila perkara itu memang sampai pada tingkat penuntutan, selain itu, permintaan ganti kerugian inipun hanya dapat dikabulkan jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti. Jadi apabila perbutan yang didakwakan tersebut tidak terbukti, maka hilanglah harapan korban untuk memperoleh ganti rugi dari pelaku tindak pidana , dengan demikian nasib korban dapat dikatakan bergantung pada : pertama, keberhasilan penyidik dalam mengungkap kasus pidana trsebut. Krena dengan adanya keberhasilan penyidiklah, maka kasus itu akan sampai dengan tahap penuntutan : kedua, keberhasilan penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya. Karena hanya dengan keberhsilan penuntut umum inilah, maka permintaan ganti kerugian akan dikbulkan oleh hakim.
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menegaskan :
(1)   Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan erkara gugatan pada perkara pidana, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangan untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2)   Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ...., atau gugatan dinyatakan tidak daapat diterima, putuusan hakim hanya memuat tetang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Disamping itu, ayat (1) pasa 99 KUHAP, perlu mendapat perhatian adalah mengenai kewenangan mengadili yang harus dipertimbangkan oleh pengadilan negeri dalam hal menerima permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini.
Salah satu contoh kasus yang dapat di jadikan contoh mengenai hak dan kesempatan yang tidak dimaafkan sebagaimana mestinya seperti yang diatur oleh pasal 98 KUHAP, adalah kasus yang menimpa korban abidin tahun 2010, yang dilakukan oleh salah seorang pelaku yang berprofesi sebagai kontraktor pengadaan barang bernama Muh Yusuf melakukan tindak pidana penipuan dengan cara mengelabuhi korbannya, yakni berpura-pura mengaku mendapat surat perintah kerja (penunjukan langsung) proyek didinas provinsi sulawesi tengah dan memerlukan sebagian dana untuk biaya pembelian alat peraga pendidikan dan biaya pengangkutan alat peraga pendidikan dan biaya pengangkutan dari jakarta ke palu. Korban tersebut pada waktu dan tempat yang berbeda telah menyerahkan sejumlah uang untuk bagi hasil dari keuntungan pengadaan barang tersebut sebesar 30 % dari keuntungan selama 3 (tiga)bulan, dengan berbagai rayuan dan janji-janji keuntungan dari pelaku sehingga korban menyerahkan uang kepada pelaku dan menderita kerugian moril yakni rasa malu kepada keluarga dan kerabatnya yang terus menerus menanyakan uang yang telah diberikan dan keuntungannya dari proyek tersebut.
Diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 227 sampai dengan pasal 283 Ansorie, sabuan, dan Ruben maksud di adakannya ketentuan diatas agar supaya terdapat jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan dilaksanakan semestinya[7]
Pengertian “putusan Pengadian”menurut Leden Marpung adalah[8]  : Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”
Menurut yahya Harahap[9] putusan akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil mufakat  musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Jenis –jenis putusan hakim dalam perkara pidana, diklasifikasikan menjai dua yaitu :
a.       Putusan yang bukan Putusan akhir.
Dalam praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148 dan pasal 156 ayat (1) kitap undang-undang hukum acara pidana, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila  terdakwa dan atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum.[10]
Putusan yang bukan putusan akhir, antara lain :
1.      Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
2.      Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
3.      Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat di terima
b.      Putusan akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah “putusan” atau “eind Vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materil.pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi setelah majelis hakim memeriks terdakwa yang hadir dipersidangan sampai dengan “pokok Perkara” selesai diperiksa.
Kasus tindak pidana penipuan yang telah dilakukan oleh muh yusuf ini, telah di gelar di pengadilanNegeri palu dengan Nomor Register Perkara No.98/PID.B/2011/PN.Palu. pada awal-awal persidangan telah mengadakan pendekatan kepada hakim dengan mengemukakan keinginan pihak korban yakni keinginan untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku dengan mengadakan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya yang mana sedang berjalan.
Namun keinginan dari pihak korban tindak pidana tersebut telah ditolak oleh hakim dengan alasan harus terlebih dahulu ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perkara No.98/PID.B/2011/PN.Palu, tersebut telah diputus yang pada pokok putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa Muh Yusuf, Lahir diwajo, Umur 40 Tahun, Jenis Kelamin Laki-Laki, Kebangsaan Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan Wirasuasta, Tempat Tinggal Jalan sukun No.201 A Kec. Palu Barat, Telah terbukti bersalah Melakukan Tindak Pidana sebagaimana tercantum dan diancam hukuman Dalam Pasal 378,Pasal 65 KUHP dan Karena itu terdakwa dihukum dengan hukuman penjara selama 1 Tahun 2 Bulan.
Putusan Tersebut diatas, telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan oleh karenanya pihak korban sudah mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan perdatanya.
Berkenaan dengan contoh kasusyang terjadi dikota palu tersebut sangat nyata bahwa penerapan kasus ganti kerugian yang diatur dalam KUHAP belum dilaksanakan secara sempurna karena ganti kerugian dijatuhkan setelah perkara pidana yang dijatuhkan terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa bersalah.
B.     Kewajiban Pemberian Ganti Rugi Kepada Korban Tindak Pidana
Sampai saat ini belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai permasalahan korban sebagai pihak yang dirugikan didalam perkara pidana, meski demikian, kita patut bersyukur sebab dalam KUHA, Yaitu udang-undang nomor 8 tahun 1981, pada BAB XIII pasal 98 sampai pasal 101, telah diatur mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini kiranya dapat dianggap sebagai awal diperhatikannya korban dalam perkara pidana, walaupun hanya dalam undang-undang formil atau hukum acara pidana.
Pasal 98 KUHAP ayat (1) telah menegaskan bahwa :
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri, menimbulkan “kerugian bagi orang lain”(termasuk Kerugian pihak korban – penjelasan KUHAP), maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu, dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana.
Hal tersebut berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka haki ketua sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan keputusan menteri kehakiman R.I No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan :gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya, dan anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana[11]
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mnenegaskan :
(1)   Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana, maka pengadilan tinggi negeri menimbang tentang kewenangan untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2)   Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan..., atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Dalam pasal 101 KUHAP menyebutkan bahwa : bagi gugatan ganti kerugian ini berlaku hukum acara perdata sepanjang tidak diatur lain dalam undang-undnag ini (KUHAP). Karena KUHAP tidak menentukan lain tentang hukum acara, maka ketentuan hukum acara perdata berlaku.
Pasal 100 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa :
Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam dalam pemeriksaan tikat banding.
Pasal 100 ayat (2) KUHAP mengatakan  bahwa :
Apabila terhadap satu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti kerugian tidak diperkenankan
Ketentuan pasal 14 (c) KUHPidana yaitu :
Dalam perintah yang tersebut pada pasal 14a. Kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa, bahwa siterhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena adanya perbuatan yang dapat dihukum itu, semuanya atau untuk sebagian saja yang ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan yang kurang lamanya dari pada percobaan itu.
 III PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dipengadilan negeri palu, ketentuan pasal 98 KUHAP belum pernah diterapkan, hal ini disebabkan sikap para hakim yang menghendaki lebih dulu adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam perkara penipuan apabila terbukti maka gugatan perdata dapat dimenangkan oleh korban tetapi memudahkan korban untuk menggugat perdata atas dasar putusan pidana.
2.      Dalam KUHAP yang berkewajiban memberikan ganti kerugian bagi korban tindak pidana, adalah pihak pelaku sebagai pihak yang menyebabkan korban mengalami penderitaan dan kerugian dimana pelaku mengajukan ganti kerugian bersama-sama dengan perkara atau penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Korban yang perlu menerima ganti rugi dri pelaku adalah korban yang sungguh-sungguh mengalami penderitaan dan kerugian serta tidak memberikan dorongan atau rangsangan atas  terjadinya tindak pidana.
B.     Saran
1.      Perlunya penyempurnaan ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang nomor.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP,mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
2.      Korban tindak pidana mengalami penderitaan baik secara fisik maupun secara psikis, sehingga sebaiknya hakim harus memberikan kesempatan kepada pihak korban untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidananya, untuk proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan prinsip peradilan.




 DAFTAR PUSTAKA 

silahkan cari sendiri kawan ku  
JANGAN LUPA CAMTUMKAN CATATAN KAKI NYA