BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga tegaknya konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian, secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada di Indonesia.
Selanjutnya, dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudian membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, di samping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada, juga terdapat Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008) yang menjadi landasan hukum yang bersifat khusus bagi Mahkamah Konstitusi.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
“Bagaimana mekanisme Hukum Acara penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu...?”
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM ACARA
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
A. Pengantar
Ketika membicarakan pemilihan umum (Pemilu) tak dapat dihindari untuk menguraikan arti penting konsep demokrasi. Keduanya memiliki relasi erat yang tak dapat dipisahkan pengkajiannya. Menggunakan istilah Arbi Sanit, Pemilu merupakan institusi yang mengejawantahkan demokrasi Bahkan menurut Valentino Larcinese tingkatan partisipasi dalam Pemilu merupakan ukuran terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Selengkapnya Larcinese menyatakan;
In an idealized vision of democracy, public decisions are based on the preferences and the opinions of all the members of a polity. It is therefore common in the public debate to regard the extent of electoral participation as a measure of the quality of democratic governance.
Kata demokrasi secara semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. ’Demos’ berarti rakyat dan ’kratos’ berarti pemerintahan (rule) atau dapat pula dimaknai dengan kekuasaan (strength) Sehingga dalam pemahaman sederhana, demokrasi dapat diberi makna sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak pada rakyat banyak. Bukan pemerintahan yang terpusat kepada satu orang (monarki), bukan pula tersentralisasi kepada sekelompok orang (oligarki). Saat ini, paham demokrasi terus berkembang, bahkan demokrasi saat ini dipandang memiliki makna yang sama dengan republik. James Mac Gregor Burns, misalnya, menyebutkan demokrasi lebih tepat dimaknai sebagai sebuah demokrasi perwakilan (representative democracy). Burns selengkapnya menyebutkan sebagai berikut;
Today democracy is more likely to mean a representative democracy –or, in Plato’s term, a republic– in which all the people do not actually make the laws or administer them but choose the ones who do
Sejak pemerintahan berkonsep monarki otoriter telah banyak ditinggalkan negara-negara dunia dan beralih kepada konsep pemerintahan rakyat. Demokrasi kemudian menjadi alternatif bahkan didaulat menjadi asas utama pemerintahan yang dapat dikatakan berlaku universal. Bahkan hampir dapat dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak menyebut dirinya sebagai negara demokrasi.
Arend Lijphart menyatakan bahwa upaya untuk membentuk sebuah negara demokratis bukanlah pekerjaan mudah. Lijphart menyebutkan bahwa, ”It is not a system of government that fully embodies all democratic ideals, but one that approximates them to a reasonable degree.” Bagi Lijphart seluruh ide mengenai demokratisasi hanyalah konsep imajinatif yang utopis (angan-angan) apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak terhadap bentuk negara demokratis itu akan dapat diwujudkan apabila diletakan kepada tingkatan paling mungkin (a reasonable degree). Sehingga pemerintahan demokrasi yang tepat bukanlah sepenuhnya pemerintahan yang dikelola oleh rakyat kebanyakan.
Mewujudkan asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan sebuah negara akan tidak mungkin dengan melibatkan seutuhnya seluruh warga negara. Walaupun secara konsep hal itu mungkin sangat ideal. Tetapi sebagaimana dinyatakan Lijpart hal itu adalah tidak mungkin, sehingga pembatasan peran rakyat dalam derajat tertentu harus dilakukan untuk mewujudkan asas demokrasi itu sendiri.
Pembatasan itu melahirkan konsep pengisian pemerintahan yang ditentukan oleh rakyat melalui mekanisme tertentu. Namun sebelum mengurai mengenai mekanisme pemilihan pemerintahan tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan suatu pertanyaan umum, yaitu kenapa rakyat perlu sebuah pemerintahan?
Pertanyaan itu dijawab dengan tepat oleh Harris G Warren, Harry D. Leinenweber, dan Ruth O. M. Andersen. Menurut mereka pembatasan tersebut perlu dilakukan karena didasari kebutuhan rakyat itu sendiri. Menurut Warren bahwa kebutuhan akan pemerintahan itu karena, “we must have an organization that will do for us those things that each of us cannot do alone or that can be done better by a group.”
Sehingga keberadaan sebuah pemerintahan adalah untuk memudahkan “kinerja” rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan hidup mereka dalam arti yang menyeluruh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul “Politik” bahwa, “every state is a community of some kind, and every community is established with a view to some good, for mankind always act in order to obtain that which they think good.” Seragam dengan Plato, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes menuturkan kebutuhan akan pemerintahan tidak hanya untuk mencegah timbulnya pertikaian golongan, anarki, dan pemenuhan kehendak umum rakyat, tetapi juga perlindungan ekonomi yang timbul akibat persaingan pasar
Bahkan oleh Dennis C. Mueller dalam Constitutional Democracy dijelaskan bahwa kebaikan-kebaikan yang dibutuhkan rakyat yang harus diwujudkan oleh pemerintah diantaranya adalah perlindungan dari kejahatan, mendapatkan pendidikan, terhindar dari kemiskinan, dan kebangkrutan ekonomi bangsa. Untuk memenuhi kebaikan yang diharapkan oleh komunitas (rakyat), menurut Plato seringkali negara dan “mesin” politik ingin memenuhi kebaikan dengan hasrat ingin mencapai hingga tingkatan paling terbaik.
Negara yang direpresentasikan kepada pemerintah dibentuk dengan harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintah yang mengupayakan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian rakyat. Sehinggga adagium Abraham Lincol bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat dan untuk rakyat itu benar-benar wujud. Rakyat memang membutuhkan pemerintahan yang memiliki kehendak untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kebutuhan akan pemerintahan tersebut memerlukan mekanisme pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan harapan dari pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan mekanisme pemilihan pemerintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep pemilihan umum (Pemilu). Menurut Colin Turpin dan Adam Tomkins dalam British Government and the Constitution, mengutip pernyataan Joseph Schumpeter, sebuah negara dapat dinyatakan menganut paham demokrasi
apabila terdapat tatanan yang membuat rakyat mampu menentukan menerima atau menolak seseorang untuk memimpin mereka (democracy, says Schumpeter, means only that the people have the opportunity of accepting or refusing the men who are to rule them).
Pemilihan Umum berasal dari kata general election yang dalam Kamus Hukum Black dimaknai sebagai sebuah pemilihan yang dilaksanakan dalam periode waktu tertentu dan dilakukan untuk mengisi seluruh kursi (legislatif dan eksekutif-pen) Kata election sendiri dalam Kamus Black dimaknai sebagai sebuah proses memilih seseorang untuk menjabat sebuah posisi tertentu. Pemilu umumnya digunakan untuk mengisi jabatan di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan dapat pula untuk lembaga yudisial, baik di tingkat pusat maupun daerah Turpin dan Tomkins menjelaskan bahwa terjadi perkembangan pemahaman mengenai Pemilu (general election) yang pada mulanya merupakan konsep pemilihan anggota parlemen menjadi bermakna lebih luas menjadi pemilihan pemerintahan. Selengkapnya Turpin dan Tomkins menyatakan sebagai berikut;
In a general election the election is of members of Parliament to represent constituencies. In modern times, however, elections have become less about electing individual members of Parliament and more about electing a government.
B. Perselisihan Hasilasil Pemilu
Stephen A. Siegel menyatakan bahwa permasalahan penghitungan suara dalam Pemilu merupakan aktivitas tertua dalam sebuah negara bangsa di antara berbagai permasalahan-permasalahan paling tua lainnya dalam hukum tata negara. Oleh banyak para pemikir hukum tata negara permasalahan penghitungan suara tersebut juga dicarikan konsep penyelesaiannya. Pasca pembentukan Konstitusi 1920 Austria yang disusun oleh Hans Kelsen, maka keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan penyelesaian perkara-perkara konstitusional menjadi tren yang mendunia. Beberapa negara kemudian menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.
Menurut Peter Haberle, keberadaan fungsi dan kewenangan sebuah constitutional court tidak lepas dari aspek kesejarahan sebuah negara. Dalam kesejarahan Jerman, Austria dan beberapa Negara yang mengitarinya, terkait dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah kehadiran the State Court of Justice dari Republik Weimar (1919) memiliki pengaruh terhadap terbentuknya the German Federal Constitutional Court (Bundesverfassungsgericht). Nilai kesejarahan itu juga berkorelasi dengan kewenangan yang menjadi yurisdiksi sebuah mahkamah konstitusi.
Dalam hal kewenangan sengketa hasil Pemilu, maka penyelesaian di sebuah lembaga peradilan, terutama Mahkamah Konstitusi, juga tidak lepas dari faktor kesejarahan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, misalnya, memiliki kewenangan tersebut juga tidak lepas dari catatan kesejarahan mengenai “buruknya” wajah Pemilu Indonesia. Karut marut hasil Pemilu tidak berujung kepada penyelesaian secara hukum. Sehingga legitimasi hasil Pemilu seringkali dipertanyakan. Terdapat pula lembaga peradilan di Meksiko yang memiliki kewenangan melakukan telaah terhadap hasil Pemilu. Bunderverfassunggericht Jerman juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan pertikaian hasil Pemilu.
Sedangkan perselisihan hasil Pemilu (disputed election) di Australia diselesaikan melalui High Court. Dalam hal tertentu High Court juga dapat menyerahkan penyelesaiannya kepada Supreme Court pada negara bagian tertentu, tempat di mana perselisihan itu terjadi.
Banyak konsep penyelesaian perselisihan hasil Pemilu (PHPU) dalam sistem ketatanegaraan di dunia. Di Ukraina, persidangan terkait hasi akhir dari Pemilu merupakan kewenangan High Administrative Court (HAC) yang putusannya bersifat final. Namun terkait dengan segala keputusan dan/atau tindakan dari Central Electoral Commission (KPU Ukraina), maka akan dihadapkan dalam persidangan di the Kyiv Administrative Court of Appeal (KACA).
Di Amerika, penyelesaian perselisihan hasil Pemilu baru menjadi pembicaraan publik ketika kasus hasil Pemilu Presiden 2000. Hasil Pemilu antara Bush versus Gore tersebut menjadi diskursus yang berkepanjangan di Amerika. Namun efek positifnya, masyarakat Amerika kemudian memikirkanbagaimana sebuah sengketa hasil Pemilu. Steven F. Huefner menyebutkan mengenai arti penting sengketa tersebut. Selengkapnya menurut Huefner terkait hal tersebut;
One unmistakable impact of the incredibly close 2000 presidential race and the dramatic litigation over its outcome is that the American public now pays substantially more attention to how state conduct their election. Much of this attention has focused –properly- on adopting reforms to avoid the kinds of problems that famously plagued Florida in 2000, whether in matters of ballot design, voting technologies, or recount procedures.
Dalam perspektif Huefner penyebab timbulnya permasalahan hasil Pemilu dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Fraud. Kecurangan hasil suara dapat saja disebabkan dari para kandidat yang curang, di mana mereka memiliki keinginan dan kesempatan untuk melakukan kecurangan tersebut. Hal itu juga dapat dilakukan oleh penghitung suara dan petugas-petugas Pemilu lainnya yang memiliki kesempatan yang memudahkan mereka untuk melakukannya;
2. Mistake. Kekhilafan yang dilakukan oleh petugas Pemilu. Kesalahan dari petugas tersebut tidak akan menjadi permasalahan besar apabila dapat dibenahi sebelum Pemilu atau melalui proses penghitungan sementara atau melalui sebuah proses penghitungan ulang;
3. Non-fraudulent misconduct. Perbuatan ini bukan merupakan kecurangan dalam Pemilu, melainkan tindakan yang dapat menimbulkan turunnya kepercayaan publik kepada hasil dari Pemilu. Misalnya dicontohkan oleh Heufner, sekelompok calon sengaja melakukan tindakan memecah suara calon lain agar calon tertentu meningkat perolehan suaranya.
4. Extrinsic events or acts of God. Penyebab lain timbulnya permasalahan dalam hasil Pemilu adalah terdapatnya peristiwa alamiah (acts of God) di luar kemampuan manusiawi petugas administrasi Pemilu. Heufner mencontohkan terjadinya Badai Katrina di New Orleans yang memengaruhi Pemilu lokal satu bulan setelahnya. Bahkan, menurut Heufner, saat bersamaan ketika terjadi serangan 11 September 2001 di menara kembar dilaksanakan pula Pemilu Negara Bagian New York. Peradilan dalam banyak contoh di atas menjadi institusi yang dipercaya mampu menyelesaikan persengketaan yang timbul diakibatkan perselisihan
hasil Pemilu. Robert A. Carp, Ronald Stidham, dan Kenneth L. Manning memercayai dalam konteks politik hukum di Amerika, peran peradilan yang signifikan dalam membenahi sistem politik, tidak lain disebabkan kemampuan institusi tersebut melindungi demokrasi. Carp, Stidham, dan Manning selengkapnya menyebutkan bahwa;
The legal subculture has an impact on American jurists. Evidence shows that popular democratic values – manifested in a variety of ways through many different mediums- have an influence as well. Some scholars have argued that the only reason courts have maintained their significant role in the American political system is that they have learned to bend when the democratic winds have blown. That is, judges have tempered rigid legalism with commonsense popular values and have maintained “extensive linkages with the democratic subculture.”
C. Perselisihan Hasilasil Pemilu di Indonesia
Sebagaimana dinyatakan oleh Siegel di atas bahwa masalah Pemilu merupakan konflik yang sudah berlangsung lama. Hal yang sama sesungguhnya juga dialami Indonesia. Namun karena kemudian pemerintahan Orde Baru mampu menutupi permasalahan Pemilu, maka sengketa hasil Pemilu tak sepenuhnya menemukan ruang penyelesaian.
Pada Pemilu 1955 tidak terdapat sengketa, aturan Pemilu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh peserta maupun pendukungnya. Pemilu 1971 yang penyelenggaraannya berada di bawah arahan Presiden dengan menjadikan menteri dalam negeri sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) juga tidak memiliki sengketa Pemilu. Namun hal itu bukan berarti tidak terdapat permasalahan penyelenggaraan atau perselisihan terhadap hasil Pemilu. Peserta Pemilu lebih banyak tidak mengemukakan sengketa yang terjadi lebih dikarenakan takut dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia. Presiden yang ketika itu juga bertindak sebagai “hakim” yang menyelesaikan sengketa Pemilu dapat saja menjadikan isu politik untuk menekan pihak-pihak yang mempertanyakan hasil penyelenggaraan Pemilu. Sehingga sengketa Pemilu tidak timbul kepermukaan.
Pemilu selanjutnya yang hanya melibatkan dua partai dan satu golongan (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) juga tidak memunculkan sengketa Pemilu. Upaya dua partai, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang mempertanyakan terdapatnya pelanggaran Pemilu juga tidak berakhir dengan penyelesaian demokratis.
Protes dua partai atas hasil Pemilu yang memenangkan Golongan Karya (Golkar) berakhir ketika Presiden memberikan rekomendasi kepada Mendagri selaku Ketua LPU. Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 yang merupakan pesta demokrasi pertama pascareformasi memiliki sengketa Pemilu yang melibatkan 27 (dua puluh tujuh) partai politik dari 48 (empat puluh delapan) partai politik yang menjadi kontestan Pemilu. Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU ditolak oleh 27 partai dengan alasan tidak melalui proses yang menggambarkan diterapkannya asas jujur dan adil. Sengketa tersebut kemudian diserahkan oleh Presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), namun oleh Panwaslu hasil penghitungan tersebut dianggap telah sah yang kemudian ditetapkan oleh Presiden. Sengketa tersebut juga dibawa ke Mahkamah Agung (MA) sebagai satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman ketika itu, akan tetapi oleh MA gugatan tersebut ditolak dikarenakan MA berpendapat yang berhak menentukan sah atau tidaknya hasil Pemilu adalah Panwaslu.
Permasalahan Pemilu di Indonesia pada dasarnya juga meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Tindak pidana Pemilu;
2. Pelanggaran administrasi Pemilu;
3. Sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu; dan
4. Perselisihan hasil Pemilu
Tindak pidana Pemilu diselesaikan melalui proses hukum pidana dan hukum acara pidana. Walaupun, sebagaimana dikemukakan oleh Topo Santoso, tidak terdapat pengertian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mendefenisikan apa itu tindak pidana Pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bertindak sebagai pihak yang mengumpulkan bukti-bukti pidana Pemilu yang kemudian akan diserahkan kepada pihak kepolisian. Apabila kepolisian menemukan cukup bukti, perkara tersebut akan diserahkan kepada pihak kejaksaan. Sebagaimana kasus pidana lainnya, perkara tersebut melalui kejaksaan akan dilimpahkan kepada peradilan.Terkait pelanggaran administrasi Pemilu, akan diserahkan kepada KPU/KPUD dengan dibantu oleh data-data dari Bawaslu dan/atau Panwaslu.Dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu hanya berfungsi mengumpulkan data-data terkait pelanggaran administrasi.
Mengenai sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu diserahkan penyelesaiannya kepada Bawaslu dan Panwaslu. Permasalahan hukum tersebut satu-satunya yang diserahkan kepada Bawaslu dan Panwaslu untuk menyelesaikannya. Namun dikarenakan lembaga Bawaslu dan Panwalu bukanlah lembaga peradilan, maka seringkali putusan-putusannya tidak dipatuhi oleh banyak pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap perselisihan hasil Pemilu, sebagaimana ditentukan UUD 1945, diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Terhadap hal tersebut diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
D. Penyelesaian PHPU Sebagai Sengketa Konstitusionalitas Pemilu
Perkembangan bentuk perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi juga tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh kontestan Pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan Pemilu. Mahkamah Konstitusi akan juga menilai substansi pelaksanaan Pemilu. Akan dilihat pelaksana Pemilu sudah mampu mengejawantahkan asas-asas Pemilu, Luber dan Jurdil, atau asas-asas tersebut diabaikan saja.
Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil) adalah asas Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertekad menegakkan keadilan substantif, sehingga apabila pelaksanaan Pemilu bermasalah maka Mahkamah Konstitusi dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu untuk melakukan penghitungan suara ulang atau Pemungutan suara (Pemilu) ulang.
Perkembangan putusan dari sekadar hanya mengkaji mengenai kuantitatif (angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan kualitatif (terpenuhinya asas-asas konstitusionalitas) dari pelaksanaan Pemilu pada mulanya terdapat dalam perkara Nomor 062/PHPU-B-II/2004. Perkara yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2004 tersebut menjelaskan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi juga melindungi asas-asas konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu. Selengkapnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut;
Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri…Menimbang bahwa berbagai hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaiannya oleh UU Pilpres, baik pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari pendaftaraan pemilih sampai dengan penetapan hasil Pemilu, maupun pada setiap jenjang penyelenggaraa Pemilu, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi sampai KPU. Mekanisme dimaksud akan berjalan apabila peserta Pemilu mengajukan keberatan yang harus mendapat tanggapan dan ditangani oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), KPU, dan aparat penyidik…menimbang bahwa kedudukan Mahkamah dalam sengketa Pemilu bukanlah sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies, melainkan sebagai lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU [vide Pasal 85 dan Pasal 68 UU Pilpres, juga Pasal 74 ayat (2) huruf b dan Pasal 75 UUMK], sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu angka signifikan hasil akhir Pemilu. Sedangkan yang bersifat kualitatif akan menjadi perhatian (concern) Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagaimana telah dikemukakan di atas dilanggar.
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilu, Mahkamah bukan hanya sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies (penyelesaian hukum lokal dan sektoral) yang terkait pidana Pemilu dan sengketa administrasi Pemilu semata. Mahkamah Konstitusi dalam hal sengketa Pemilu merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu, sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir Pemilu juga Mahkamah juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu.
Sehingga terkait dengan perkara yang bersifat melanggar kualitatif Pemilu akan menjadi perhatian (concern) Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 dilanggar. Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 062/PHPU-B-II/2004 menyatakan bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) danayat (5) UUD 1945 yang intinya menentukan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itulah sebabnya dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdapat perintah kepada pelaksana Pemilu (KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP Aceh) untuk melaksanakan penghitungan ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang apabila Mahkamah berpendapat asas-asas tersebut telah dilanggar.
E. Macam -Macam Perselisihan Hasil Pemilu
Kewenangan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) lainnya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kemudian kewenangan tersebut diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 10 ayat (1) UU MK memuat ketentuan sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sesuai dengan Pasal 22E UUD 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu dengan sendirinya perselisihan hasil Pemilu meliputi ketiga jenis Pemilu tersebut, yaitu Pemilu anggota DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur pula dalam Pasal 74 ayat (2) UU MK.
Namun telah terjadi perkembangan cakupan pengertian Pemilu yang dengan sendirinya memengaruhi jenis perselisihan hasil Pemilu yang menjadi wewenang MK. Perkembangan tersebut diawali oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah menyatakan bahwa “rezim” pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang-undang bukan merupakan rezim pemilihan umum, tetapi secara substantif adalah pemilihan umum sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional Pemilu. Putusan ini mempengaruhi pembentuk undang-undang yang selanjutnya melakukan pergeseran Pemilukada menjadi bagian dari Pemilu.
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) secara tegas dinyatakan sebagai bagian dari pemilihan umum. Perubahan Pemilukada dari rejim pemerintahan daerah ke rejim Pemilu dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan wewenang memutus sengketa Pemilukada dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak diundangkannya undang-undang ini. Pengalihan wewenang secara resmi dilakukan oleh Ketua MA dan Ketua MK pada 29 Oktober 2008. Mulai saat inilah memutus perselisihan hasil Pemilukada menjadi bagian dari wewenang MK. Dengan demikian jenis Pemilu di mana sengketa hasilnya menjadi wewenang MK untuk mengadili dan memutus adalah meliputi:
a. Pemilu Legislatif yang meliputi pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. Pemiluhan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
F. Hukum Acara PHPU
1. Isi Permohonan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa permohonan PHPU adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Kepala Daerah, PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Menurut PMK tersebut permohonan PHPU adalah pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum terhadap penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah. Setidak-tidaknya dalam permohonan berperkara di Mahkamah Konstitusi harus terdapat tiga elemen penting yang terdapat dalam permohonan. Ketiga pokok tersebut merupakan syarat formil dan materil sebuah permohonan. Pada perkara PHPU, permohonan terkait PHPU juga harus dicantumkan dalam permohonan tiga hal tersebut [Pasal 31 ayat (1) UU MK], yaitu:
1. I Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
2. Posita/pundamentum petendi
3. Petitum
Syarat formil tersebut memuat identitas para pihak. Apabila terdapat kekeliruan dalam mencantumkan pihak-pihak, maka dapat menyebabkan permohonan mengalami error in persona. Kekhilafan tersebut dapat menyebabkan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya. Berupa nama, tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat. Apabila Pemohon memberikan kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar persidangan atas nama Pemohon, maka pemberian kuasa tersebut harus dicantumkan dalam permohonan dengan dilampirkan surat kuasa tersebut dalam pendaftaraan permohonan di MK. Istimewanya, dalam beracara di MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang advokat. Pemohon dapat saja memberikan kuasa kepada seseorang yang bukan advokat yang menurut Pemohon mampu membela kepentingannya.
Hal lain yang perlu dimaktubkan dalam permohonan PHPU oleh Pemohon adalah penjelasan mengenai identitas sebagai peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD, pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan syarat materiil mengharuskan permohonan tersebut mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok persoalan (posita) dan alasan-alasan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu bersangkutan dan petitum (tuntutan). Posita dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan hukum acara tata usaha negara terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Pengungkapan kejadian-kejadian empiris
b. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau teori yang mendukung alasan
Sesuai dengan bentuk isi posita, maka dalam perkara PHPU isi posita sebagaimana dalam beracara perdata dan tata usaha negara tersebut juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi termasuk juga dalam perkara PHPU. Hanya saja dalam acara perdata di Indonesia menganut konsep individualisering theorie, di mana di dalam posita dicantumkan hal-hal yang relevan dengan permohonan. Dalam beracara di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering theorie, di mana di dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari awal hingga akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi hakim dalam pertimbangannya.
Konsep substantiering theorie tersebut juga seringkali digunakan dalam perkara PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap dalam mengemukakan runtutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam sidang panel, hakim panel akan memberikan masukan agar permohonan lebih menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Pasal 75 UU MK menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukakan dalam permohonan, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
Oleh karena itu dalam permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal proses Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, Pemohon menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya, kampanye, dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan hakim untuk memutuskan sesuai permohonan Pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah. Dalam sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar Mahkamah memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal. Sehingga dapat saja atas dasar permohonan Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.
Permohonan tersebut berdasarkan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus diajukan dalam bahasa Indonesia dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai politik lokal, atau calon anggota DPD peserta Pemilu, dan atau kuasanya untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya.
Posita dalam permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa (materiele gebeuren) yang melandasi permohonan. Kesalahan proses Pemilu yang seperti apa yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan suara yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang dipersoalkan adalah penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/kota.
Permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan tersebut dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara. Terkait dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU tersebut. MK dapat menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu menyalahgunakan kewenangan (detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan Pemilu. Penyalahgunaan tersebut oleh MK dianggap telah menyebabkan memengaruhi hasil suara signifikan dalam Pemilu dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan penyalahgunaan kewenangan tersebut sesuai dengan semangat perlindungan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu.
Dalam pelbagai hukum acara, baik perdata dan tata usaha negara, alasan tersebut yang biasa disebut dalil-dalil permohonan. Dalil-dalil tersebut haruslah memuat alasan (feiten) yang layak dalam menuntut (onderwerp van den eis) yang menjelaskan terjadinya perselisihan suara yang menyebabkan perubahan signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu legislatif).
Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita. Terkait perkara PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk membatalkan hasil Pemilu dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang atau Pemilu ulang. Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang sesuai dengan posita permohonan, sehingga dalam hal ini MK juga menentukan penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon atau pihak-pihak terkait lainnya.
2. Para Pihak (subjectum litis)
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon. Harus terdapat alasan dalam melakukan permohonan. Alasan tersebut lumrah disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal standing). Maruarar Siahaan menyebut banyak istilah yang mempunyai makna seragam dengan legal standing, misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan.
Pada putusan Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang merupakan putusan PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon. Terkait legal standing tersebut MK hanya menyatakan, “Pemohon telah memiliki kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK”. Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas mengenai legal standing tidak terdapat di dalam amar putusan.
Keberadaan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK tersebut membuat terjadinya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait PHPU di mana akan terdapat pertimbangannya yang menjelaskan mengenai legal standing Pemohon. Dengan mengurai legal standing Pemohon dalam putusannya, maka akan terlihat baik oleh para pihak dalam perkara alasan yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima atau tidak legal standing Pemohon.
Konsep para pihak dalam PHPU menyerupai konsep yang dianut dalam hukum acara perdata dalam perselisihan keperdataan. Terdapat 2 (dua) pihak dalam sengketa keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 123 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materiil adalah orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak formiil adalah pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan kepentingan orang lain. Pihak formil tidak termasuk pengacara atau kuasa hukum karena keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan sebuah perjanjian.
Pihak materiil dalam hukum acara perdata adalah para Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat. Penggugat adalah orang yang merasa bahwa haknya dilanggar, sedangkan Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang, sedangkan pihak formil dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya di muka pengadilan adalah demi kepentingan pihak-pihak.
Jika kemudian diperhatikan pula konsep para pihak dalam konsep Hukum Acara Tata Usaha Negara maka dapat diperhatikan ketentuan Pasal 53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal a quo menyatakan bahwa hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat adalah orang yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara, sedangkan Tergugat adalah pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha negara tersebut.
Memperhatikan konsep pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut, maka dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak dalam hukum acara perselisihan hasil Pemilu. Pada dasarnya para pihak yang ada dalam sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para pihak dalam sengketa keperdataan dan juga sengketa tata usaha negara.
Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah menggunakan dasar hukum pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan tersebut bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Kemudian Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa.
Lebih lanjut Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki legal standing. Tiga syarat tersebut adalah;
1. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan potensial);
2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang (hal ini terkait pengujian konstitusionalitas undang-undang);
3. Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
Terkait dengan terdapatnya kepentingan Pemohon yang dirugikan dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara juga dikenal dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan kata ”kepentingan yang dirugikan” tersebut, Indroharto menjelaskan bahwa ”kepentingan” adalah sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun nonmaterial, yang merupakan milik individu atau organisasi yang harus dilindungi hukum. Kepentingan tersebut menurut Indroharto harus pula bersifat personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan secara objektif.
a. Pemohon
1) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon adalah partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK.
Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut;
”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh;
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
Sehingga para Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung
mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.
Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh pimpinan pusat partai politik tersebut tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait dengan sebab tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari ketentuan UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK tersebut perlu secara teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan permohonan maka akan terjadi kerumitan perkara di MK. Bayangkan apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara yang tidak perlu dibatasi dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun apabila terdapat sesama anggota partai politik tertentu yang juga mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.
2) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Dalam perkara PHPU DPD, Pemohon adalah perseorangan yang warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sabagai anggota DPD dalam pemilihan umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU MK juncto Pasal 258 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Nomor 10/2008) dan Pasal 5 huruf d PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PerselisihanHasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009), menentukan hal-hal, antara lain, sebagai berikut;
a. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b. Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sehingga harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi hanya menyidangkan perkara-perkara yang besar kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan hasil Pemilu. Hal tersebut berkaitan dengan asas efisiensi yang mempertimbangkan tenggang waktu penyelesaian perkara. Mahkamah Konstitusi hanya diberikan waktu selama 30 (tiga puluh) hari untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. Para Pemohon yang jumlah suaranya tidak memiliki bukti signifikan untuk mengubah hasil Pemilu, permohonannya dapat diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan perkara yang besar kemungkinan memberikan perubahan hasil Pemilu, dalam setiap putusannya Mahkamah Konstitusi akan menjelaskan angka-angka hasil Pemilu yang memperlihatkan kemungkinan perubahan hasil tersebut.
Mahkamah juga mempertimbangkan asas-asas kehati-hatian, di mana terkait dengan angka-angka hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi dalam persidangan akan memanggil beberapa pihak yang dapat menjelaskan angka-angka hasil Pemilu terkait. Dalam hal ini Pemohon, Termohon (KPU/KPUD/KIP), Pihak Terkait, dapat memberikan bukti-bukti penghitungan hasil Pemilu berdasarkan versi masing-masing pihak.
3) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 74 ayat (1) huruf b juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK Nomor 17 Tahun 2009 menyatakan bahwa Pemohon perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon inilah yang menandatangani permohonan dan memberikan kuasa, bukan partai politik yang mengajukan.
4) Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008) merupakan regulasi yang mengatur mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon adalah pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.
Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang memiliki kepentingan langsung tersebut adalah para pihak yang mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
b. Termohon dan Turut Termohon
1) Termohon/Turut Termohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR, DPRD dan DPD
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d PMK 16/2009. Termohon berdasarkan ketentuan tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sedangkan Turut Termohon adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota atau KIP provinsi dan KIP kabupaten/kota di Aceh di mana terdapat perselisihan hasil Pemilu. Jadi KPU provinsi atau kabupaten/kota tertentu dapat menjadi turut termohon apabila penerapan hasil di daerah masing-masing menjadi objek perselisihan.
2) Termohon Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Mengenai Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d PMK Nomor 17 Tahun 2009. Termohon berdasarkan ketentuan tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam perkara PHPU Presiden dan wakil presiden tidak terdapat Turut Termohon berdasarkan ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 17 Tahun 2009 yang mengatur mengenai para pihak.
3)Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada.
c. Pihak Terkait
Pihak terkait dalam PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Dalam hukum acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang keikutsertaannya dalam persidangan disebut dengan intervensi. Apabila keikutsertaan pihak ketiga tersebut menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff) atau Tergugat (gedaagde, defendant) maka intervensi itu disebut voeging. Namun apabila pihak ketiga ”hadir” dalam persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, intervensi itu disebut tussenkomst.
Konsep yang sama juga diterapkan dalam peradilan tata usaha negara, dimana pihak ketiga yang melakukan intervensi dapat pula membela dirinya sendiri atau bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa. Hakim dalam perkara sengketa tata usaha negara dapat mengambil inisiatif untuk intervensi agar pihak ketiga dilibatkan dalam persidangan.
Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait dengan perkara, sehingga pihak-pihak tersebut dapat mempersiapkan diri untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata, dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat oleh Penggugat. Sehingga dalam perkara PHPU di MK pemanggilan Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak tersebut siap untuk menanggung konsekuensi dari Putusan Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang dapat saja merugikan Pihak Terkait.
Dua jenis kepentingan kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut sesungguhnya juga sama dengan keikutsertaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU. Pihak Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota. Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk memperjuangkan kepentingannya.
1) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Berdasarkanketentuan Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menyatakan bahwa Pihak Terkait adalah peserta pemilihan umum selain Pemohon. Keberadaan pihak terkait dalam persidangan PHPU harus melalui ketetapan MK. Hal tersebut didasari Pasal 4 PMK 16/2009. Dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu dari Provinsi hingga tingkat Kecamatan merupakan pihak yang dapat ditetapkan MK sebagai pihak terkait.
2) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 1 angka 16 PMK 16/2009 menentukan Pihak Terkait adalah peserta pemilihan umum selain Pemohon, sehingga Pihak Terkait dapat, perseorangan warga negara negara Indonesia calon anggota DPD.
3) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 3 ayat (2) PMK 17/2009 menentukan Pihak Terkait adalah peserta pemilihan umum yaitu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden selain Pemohon. Selengkapnya Pasal 3 ayat (2) PMK 17 /2009 tersebut berbunyi;
“Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam persidangan, baik atas permintaan sendiri, maupun atas penetapan Mahkamah.”
Kata dapat menjadi Pihat Terkait bermakna dapat saja pasangan calon bukan Pemohon tidak menjadi Pihak Terkait, apabila pasangan calon bukan Pemohon tersebut tidak mengajukan diri dan/atau ditetapkan oleh Mahkamah.Ketentuan tersebut juga tidak melarang pihak-pihak lain untuk menjadi Pihak Terkait selama memiliki alasan yang jelas yang dapat diterima oleh Mahkamah, sehingga Pihak Terkait dalam hal PHPU Presiden dapat perseorangan warga negara Indonesia.
4) Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) PMK 15/2008, yang berhak menjadi Pihak Terkait adalah pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila mereka diwakilkan atau menguasakan diri kasus melampirkan surat kuasa khusus.
3. Objek Permohonan (objectum litis)
a. Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:
a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 persen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
b. Perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan;
c. Perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu di Aceh;
d. Terpilihnya calon anggota DPD.
Objectum litis permohonan adalah mengenai keberatan atas penghitungan suara Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan secara nasional oleh KPU berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum terkait Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum.
Hakim akan terlebih dahulu memberikan pertimbangan mengenai objectum litis ini. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya “mengadili” perselisihan hasil Pemilu secara kuantitatif, melainkan juga terkait dengan penilaian pelaksanaan Pemilu yang baik. Apabila dianggap bertentangan dengan semangat konstitusional (constitutional spirite), misalnya melanggar asas Luber dan Jurdil, Mahkamah dapat memutuskan untuk memerintahkan penghitungan suara ulang atau bahkan meminta dilakukan pemungutan suara (Pemilu) ulang. Sehingga objectum litis perkara perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi tidak hanya terkait dengan angka-angka hasil penghitungan suara oleh KPU dalam pelaksanaan Pemilu, melainkan juga terkait dengan dilanggarnya asas-asas Pemilu. Pelanggaran asas Pemilu tersebut dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota), peserta (partai politik), bahkan oleh pemilih (seperti pendukung partai tertentu).
Pemohon harus menjelaskan bahwa permohonannya terkait perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 huruf d UU MK. Permohonan tersebut harus pula memuat sekurang-kurangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU MK;
a. Nama dan alamat Pemohon (identitas), serta kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
b. Uraian mengenai perselisihan hasil Pemilu yang terjadi (posita);
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum).
Pengajuan tersebut harus pula diikuti dengan alat bukti yang memadai [Pasal 31 ayat (2) UU MK]. Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 45 ayat (2) UU MK, Pemohon harus mengajukan minimal 2 (dua) alat bukti dalam persidangan.
b. O Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu DPD
Pasal 5 PMK 16/2009 menyebutkan bahwa objek PHPU adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD. Seorang calon anggota DPD yang tidak dinyatakan tidak terpilih dapat mengajukan permohonan, apabila pemohonan itu dikabulkan, dia dapat menjadi calon terpilih.
c. O Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 4 PMK 17/2009 menentukan bahwa objek permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:
a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran Kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau
b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait dengan objek sengketa tersebut, maka Pemohon dalam permohonannya harus menguraikan sekurang-kurangnya mengenai;
a. I Identitas lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Uraian yang jelas mengenai; 1. Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; 2. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.Permohonan yang diajukan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang mendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) PMK 17/2009.
d.Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008, objek permohonan dalam perkara Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang menjadi objek perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008 disebutkan, yang mempengaruhi:
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau
b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
4. Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberikan keyakinan bagi hakim untuk menentukan putusannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan berdasarkan ketentuan Pasal 11 PMK 16/2009 adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK. Alat bukti surat atau tulisan tersebut terdiri dari:
a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
c. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota;
d. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota;
e. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
f. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi;
g. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h. berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i. salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
j. dokument tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan tersebut harus diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan dan Tenggang Waktu Putusan
Mengenai tenggang waktu (daluarsa) diatur pula dalam hukum acara peradilan tata usaha. Daluarsa tersebut adalah batasan waktu dalam mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan permohonan dalam perkara PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU Presiden maupun PHPU Kepala Daerah.
a. Tenggang Waktu PHPU DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009. Apabila permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh UU tersebut maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan tidak dapat diterima.
b. Tenggang Waktu PHPU DPD
Pasal 74 ayat (3) UU MK menyebutkan bahwa Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009.
Pasal 78 huruf b UU MK eksplisit menentukan tenggang waktu putusan. Putusan MK terkait dengan permohonan atas perselisihan hasil Pemilu wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan mengenai tenggang waktu putusan diatur juga diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PMK 16/2009.
c. Tenggang Waktu PHPU Presiden
Pasal 5 PMK 17/2009 menentukan waktu pengajuan permohonan. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa permohonan diajukan paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak penetapan secara nasional hasil perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
Pasal 15 ayat (1) PMK 17/2009 menentukan bahwa putusan Mahkamah terkait PHPU Presiden harus sudah diputus dalam 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
d. Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah
Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008 Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas waktu tersebut tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. [Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008].
Apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. [Pasal 13 ayat (1) PMK 5/2008].
6. Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009) dan Pasal 5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK 17/2009). Sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan.
Apabila permohonan diajukan melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan ketentuan di atas, Panitera Mahkamah Kontitusi akan menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.
Jika permohonan Pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi persyaratan, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Registrasi Perkara dan mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan tidak memenuhi persyaratan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal 6 ayat (3) PMK 17/2009, Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat pengajuan permohonan, sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan.
Kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam permohonannya yaitu:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon [Pasal 6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (2) PMK 17/2009]; Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat, a. identitas Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. uraian yang jelas mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon (posita); dan c. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon (petitum) [Pasal 6 ayat (2) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK 17/2009];
permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung [Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (4) PMK 17/2009].
Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk PHPU Legislatif [Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009] dan PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], sedangkan untuk PHPU Presiden, Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan [Pasal 6 ayat (4) PMK 17/2009].
Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi untuk PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], untuk PHPU Legislatif, Mahkamah menentukan hari sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dan penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan [Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) PMK 16/2009], sedangkan untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan [Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009].
Persidangan di MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan pemeriksaan pendahuluan yang lumrah disebut sidang panel. Pasal 28 ayat (4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi. Pembentukan panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan karena ketentuan Pasal 28 ayat (4) tersebut hanya menyatakan bahwa Mahkamah “dapat membentuk panel hakim” sebelum dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk membentuk panel hakim lebih dari tiga maka hal itu dapat saja terjadi. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh tiga orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan. Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif [Pasal 8 ayat (3) PMK 16/2009] dan dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden [Pasal 7 ayat (3) PMK 17/2009].
Dalam persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan permohonan” yang mendengarkan masukan (nasihat) hakim, kembali dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan tersebut. Sidang panel lanjutan tersebut akan memperdengarkan apakah Pemohon telah menerima nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap bertahan dengan permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun, sehingga proses persidangan tersebut hanya merupakan kebiasaan (convention) yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini Mahkmaah juga mempertanyakan daftar alat bukti yang dilampirkan Pemohon untuk kemudian disahkan sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat pula melakukan penambahan alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai penambahan tersebut, biasanya Mahkamah Konstitusi akan menanyakan mengenai kemungkinan penambahan alat bukti tersebut.
Pada persidangan selanjutnya, Hakim Mahkamah Konstitusi memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan atau dapat pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas, posita, dan petitum) dari permohonannya di dalam persidangan. Setelah penyampaian tersebut Mahkamah Konstitusi akan memberikan kesempatan kepada Termohon untuk menyampaikan tanggapannya terhadap permohonan Pemohon. Apabila Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan menentukan sidang berikutnya.
Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
a. Mendengarkan Permohonan
b. Jawaban Termohon;
c. Keterangan Pihak Terkait;
d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
e. Kesimpulan.
Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih tersebut adalah kertas penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan tersebut dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan ahli yang dianggap mampu memberikan keterangan terkait perkara.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah mencukupi untuk memberikan putusan, maka Mahkamah akan menentukan jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
7. Putusan Mahkamah
Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim.
Putusan yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat tersebut tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting tersebut tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan berbunyi:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan penetapan. Penetapan oleh peradilan adalah tindakan Mahkamah yang diluar putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis (putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].
Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam berperkara di MK juga tidak dikenal dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap ketetapan yang diterbitkan oleh MK, baik terhadap ketetapan hari sidang, ketetapan penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan perkara PHPU.
Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. Terdapat pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan permohonan Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak beralasan hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim.
Mengenai putusan sela diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan PMK 17/2009. Berdasarkan Putusan Sela tersebut, maka Hakim Mahkamah Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila persidangan telah dianggap selesai. Putusan akhir tersebut dianggap merupakan bagian tidak terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam memutuskan sengketa PHPU tidak terlampaui.
Perkembangan lain terkait putusan dalam perkara PHPU adalah pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan ini pertama kali dijatuhkan dalam perkara Pemilukada Jawa Timur. Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Putusan tersebut juga memerintahkan Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan tersebut Mahkamah dalam konsiderannya berpendapat bahwa:
”Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Dalam banyak putusan, MK mencoba keluar dari penafsiran UU secara sempit tersebut. Konsep putusan tersebut dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan lain, perkara Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan juga bahwa kotak suara digantikan dengan Noken, tas masyarakat adat Papua.
Sebagaimana pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga mengedepankan perlindungan konstitusionalitas, di mana penyelenggaraan asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut dilindungi. Hal itu menyebabkan putusan MK dalam perkara PHPU juga akan mengalami perkembangan karena nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu dikenal dengan the living constitution.
Putusan MK dalam perkara PHPU, sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief. Putusan yang berbentuk declaratoir itu memberikan kewajiban hukum kepada pihak-pihak. MK dalam perkara PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga ketika MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan MK, maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikianlah berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sebagaimana yang terjadi dalam praktik pemilukada di Indonesia, pada dasarnya merupakan sengketa hukum (rechtsstrijd), dan sengketa hukum (rechtsstrijd) ini sekaligus pula merupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd).
Mahkamah Konstitusi memiliki Hukum Acara yang digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilukada di Indonesia. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada ini diatur dalam : (1) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003; dan (2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 b merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat umum (lex generalis), dan Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 merupakan kaidah hukum formil/prosedural yang bersifat khusus (lex specialis).
B. SARAN
Untuk menjamin keadilan yang diwujudkan oleh MK adalah keadilan yang berdasarkan kepastian hukum, MK harus merevisi hukum acara dalam memutus sengketa hasil pemilukada. Dasar untuk merubah hukum acara tersebut adalah berdasarkan keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh MK selama ini. Indicator-indikator yang menjadi criteria pelanggaran terstruktur,sistematis, dan massif dalam proses pemilukada dapat dijadikan acuan dalam merevisi hukum acara dalam memutus sengketa hasil pemilukada.
DAFTAR PUSTAKA
Arbi Sanit, 2009. Sistem Pemilihan Umum dan Perwakilan Politik, dalam Andy Ramses M.
(Edt), Politik dan Pemerintahan Indonesia, (Jakarta, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia,).
Valentino Larcinese, 20 April 2010. Does Political Knowledge Increase Turnout?
Evidence from the 1997 British General Election, www.ssrn.com.
James MacGregor Burns, et.al, Government by the People, (New Jersey: Prentice Hall,
Inc. 1989), (London&Newyork: Zed Books, 2003).
Arend Lijphart, Democracy in Plural Societies, A Comparative Exploration, (New Haven and
London, USA: Yale University Press, 1977), hal. 4.
Harris G. Warren et.al., Our Democracy at Work, (USA: Prentice Hall Inc, 1963), hal. 3.
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1974), hal. 145.
Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, (New York: Oxford University Press, 1996), hal. 50.
Colin Turpin dan Adam Tomkins, British Government and the Constitution, Sixth Edition
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 494.
Bryan A. Garner (Edt), Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minn: West Group, 1999), hal.536.
www.en.wikipedia.org/wiki/Election
Op.cit, Colin Turpin dan Adam Tomkins, hal. 507.
Stephen A. Siegel, The Conscientious Congressman’s Guide to The Electoral Count Act of 1887, Florida Law Review, July, 2004.
www.ssrn.com/abstract=1265227. Diunduh pada Senin, 26 April 2010, pukul 21.00 WIB, hal. 1
Peter Haberle, Role and Impact of Constitutional Court in a Comparative Perspective,
www.ssrn.com, diunduh pada Senin, 26 April 2010, pukul. 21.00 WIB., hal. 69
www.en.wikipedia.org/wiki/Federal_Constitutional_Court_of_Germany. diunduh pada Minggu, 25 April 2010, Pukul 15.00 WIB.
Steven F. Huefner, Remedying Election Wrongs, www.ssrn.com,
diunduh pada Senin, 26 April 2010, Pukul 21.00 WIB.
Robert A. Carp, et.al., Judicial Process in America, (Washington DC: Congressional Quarterly. Inc, 2004), hal. 289.
Soedarsono, Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi, Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hal. 156.
Topo santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), hal. 1
Bandingkan dengan Tim Peneliti Perludem, Efektivitas Panwas: Evaluasi Pengawasan Pemilu 2004, (Jakarta: Perludem, 2006), hal. 47.
Putusan MK Nomor 062/PHPU-B-II/2004, hal 38.
Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institutte, KITLV-Jakarta, 2010), hal. 111.
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), hal. 30.
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2000), hal. 45.